Kesadaran Diri
MTsN 5 Jakarta
8-3-20
Ketika sedang menyusun tesis saya sering bersilaturahmi ke perpustakaan, keberbagai toko buku, sampai seharian melihat dan membaca sinopsis-sinopsis buku. Saya lebih senang ke toko buku dari pada pasar swalayan.
Andai ke pasar swalayan kadang suka mampir ke toko buku sekedar melihat-lihat buku baru.
Suatu hari di sebuah toko mata saya tertuju kepada deretan tafsir tematik berbahasa Indonesia yang ditulis oleh para pakar. Rasa ingin tahu menggerakkan tangan untuk membuka tafsir tersebut. Saya melihat ada tulisan yang membuat saya tertarik, karena tulisan itu sesuatu yang sedang berlangsung di bumi kita ini. Keterpurukan pendidikan. Ada kalimat yang masih saya ingat, yaitu sebab-sebab keterpurukan dunia pendidikan diantaranya ; terlalu ikut campurnya pemerintah ( unsur politik ), terlalu mudahnya perguruan tinggi meluluskan mahasiswa, rendahnya kualitas guru, adanya kesenjangan antar pendidikan di kota dan dipedesaan dan lain-lainnya.
Suatu kesempatan saya mewakili sekolah untuk menghadiri acara yang diselenggarakan oleh salah satu unit instansi pemerintah yang membahas peranan pendidikan keagamaan. Dalam acara tersebut ada acara tanya Jawab, ada salah satu wartawan yang menyoroti sebab-sebab rendahnya kualitas pendidikan diantaranya rendahnya kualitas guru, terlalu mudahnya dalam penilaian kinerja guru alias tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya.
Seorang guru pernah dipanggil kepala sekolah karena guru itu protes tentang penilaian kinerja guru ( DP 3) kalau sekarang surat kinerja pegawai ( SKP ). Kenapa guru yang jelas-jelas indispliner nilainya lebih besar dari guru yang bekerja dari pagi sampai sore dan kalau pulang tidak pernah lihat matahari terbenam demi sekolah.
" Kenapa pak protes tentang penilaian?" ucap Kepala.
" Penilaian itu pertahun kerja, bukan senior yunior. Artinya kinerja selama satu tahun yang dinilai bukan guru lama atau guru baru" jawab guru.
" Jadi bapak maunya berapa ?"ucap Kepala lagi.
Bukan masalah berapa, tetapi penilaian semacam ini akan merusak moral guru berakibat semaunya guru mengajar. Wajar kalau ada teman guru berkata.
" Rajin dengan tidak rajin tidak ada bedanya. Gaji, sertifikasi dan tunjangan sama".
Kalau pernyataan ini tertanam pada setiap pegawai, apa jadinya pendidikan kita ini.
Kesejahteraan guru bukan barometer berkualitasnya Pendidikan, realitanya gaji dapat, sertifikasi dapat, kesra dapat tetap saja belum mampu mendongkrak kualitas pendidikan. Menurut hemat saya pendidikan akan berkualitas jika civitas academica mempunyai kecerdasan eksistensial. Suatu kecerdasan tingkat tinggi manusia tentang kesadaran diri ( self awareness) terhadap fungsi dan tugasnya masing-masing.
Kecerdasan untuk bertanya tentang konsep diri, siapa saya, mau apa saya, mau kemana saya, apa yang saya harus lakukan sebagai seorang kepala, guru, siswa dan karyawan. insyaAllah jika kecerdasan ini ada pada diri kita. Setidaknya kita tahu apa yang seharusnya kita lakukan. Jika seseorang tahu akan dirinya, dia akan tahu tujuan hidupnya, bahkan dia akan tahu tentang Tuhannya.
0 komentar:
Posting Komentar